Selasa, 26 Maret 2013

Pijakan Pertama Di Gunung Papandayan

Perjalanan yang sangat berkesan di hati

Aku adalah seseorang yang sangat sombong di atas bumi ini. Keegoisan bertahta dengan sangat tinggi, Aku adalah penguasa di atas segalanya, merajai bumi dan ekosistem tertinggi di rantai makanan tapi hilang di tiup hembusan kabut yang dingin mengigit setiap sumsum tulang. Lenyap terbawa hanyutan air yang mengalir dengan deras tanpa henti, bermuara dalam satu tempat terindah yaitu Papandayan..

Jakarta, 8 Maret 2013 kami memulai perjalanan dengan berkumpul di Terminal Rambutan. Saat itu lalu lintas cukup padat dengan kotak-kotak besi yang saling berebut untuk sampai tepat waktu pada tujuan. Saya yang jarak kantornya cukup jauh,mempercepat perjalanan agar cepat sampai di rumah. Rencana ingin pulang jam 4 sore, tetapi ada insiden yang cukup saya syukuri, sepatu pesanan kakak saya ketinggalan di mobil teman, otomatis saya harus mengambilnya kembali atau saya akan mendapatkan omelan yang bertubi-tubi. Saya nekat naik sepeda dari Kantor sampai kantor lainnya yang jaraknya lumayan jauh dari timur ke selatan. Mengayuh tanpa pemanasan membuat kaki lumayan sakit tapi berhubung sudah lama tidak naik sepeda saya menikmati hal-tak-terduga itu. Misi berhasil dan ternyata saya harus pulang jam 5 lewat dari kantor, was-was mengejar waktu karena takut tertinggal dari rombongan saya makin mempercepat langkah kaki agar samapi di rumah tepat pada waktunya. Busway berasa berjalan dengan sangat lambat, ahkirnya saya memutuskan untuk naik ojek sesampainya di Halte Busway nanti. 

Dengan semangat tinggi tidak ingin terlambat, saya menyewa seorang tukang ojek yang awalnya hanya ingin mengantarkan saya hanya sampai rumah untuk mengambil barang bawaan dan segala perlengkapannya. Abang ojek yang tidak saya ketahui asal usul nya itu berusaha mengakrabkan diri yang jelas-jelas saya tak ingin menjalin hubungan apa pun walau itu hanya sekedar penumpang dan ojek, karena bagi saya ini adalah "one stand night" antara aku dan dirimu bang, dan aku tak ingin naik ojek lagi selain di saat-saat genting lainnya. Dengan gelisah saya menelepon teman saya, menanyakan keberadaannya *aaiihh*. Si abang ojek ini menemani saya hingga teman saya datang di tempat yang di janjikan. Berhubung saya belum pernah malam-malam ke terminal, saya minta di temani abang tersebut. Saya makin merasa ada sesuatu yang aneh dengan abang ini karena Kepede-an nya yang luar binasa dan karena Eskaesde nya yang enggak tahan. Yah, dari pada saya harus sendiri, kesepian dan di gondol orang saya tetep tersenyum dengan terpaksa mendengarkan segala ocehan abang ini. Setelah lumayan menunggu terlalu lama, ahkirnya teman saya -Putri datang juga, dan saya berhembus lega. Atas pembuangan waktu yang cukup lama itu, dia saya upahi ia dengan Rp50.000, -yah lumayan mahal yah bo'.

Lupakan abang ojek itu, kita beranjak ke cerita selanjutnya...
Saya dan teman menghampiri Indomaret untuk membeli barang yang kurang, di sana ada yang menghampiri yang terdengar sekilas seperti "Wubex or Tubex" entahlah berhubung kami malu-malu kami mengiyakan segala nya. Kami saling berkenalan, ada seorang wanita bernama Mpok Aiseh, Bang Bonny, Bang Gopal, Bang Zuebex (belakangan baru kita tahu, penglafalan yang cukup sulit), Bang Dimas, Mba Titin, Ratna, Adit dan Fajri, kami semua ber sebelas berkumpul menunggu Bus jurusan Kampung Rambutan-Garut seharga Rp35.000,-/org. Pertualangan pun di mulai jam 12 malam, kami naik Bus dan di butuhkan waktu selama 4 jam untuk sampai tempat tujuan. Kami sampai sekitar jam 4 pagi di sebuah terminal di Garut. Udara dingin mulai menerpa karena Garut lumayan sejuk dan waktu pun masih sangat pagi. Guntur, itu tempat kami singgah, di sebuah Musholla yang hampir penuh oleh para pendaki yang baru sampai seperti kami. Semua menunggu waktu subuh membangunkan setiap manusia untuk sujud di Keagungan Sang Pecipta. Shalat berjamaah dan kami berkumpul kembali untuk membicarakan jadwal selanjutnya, ternyata kami kekurangan tenda jadi Bang Bonny memutuskan untuk membeli nya bersama Bang Gopal, Bang Zuebex dan Bang Dimas sementara yang lain menjaga barang bawaan dan mengepak kembali barang bawaan agar lebih solid di dalam carrier. Barang bawaan mereka bisa mencapai 3-5 kilo mungkin, karena membawa logistik, baju, tenda, rain coat, matras, sleeping bag dan peralatan lainnya. Sedangkan saya yang hitungannya baru "Pemula" sangat berbanding terbalik padahal saya merasa barang bawaan saya sudah lumayan berat. Huaahh... Berasa malu sendiri hehehe... dan entah mengapa tiba-tiba jiwa ke sunda-an saya di uji karena Marbot-Penjaga Musholla yang memakai bahasa sunda yang benar-benar di luar kamus yang saya miliki. Kami semua hanya bisa mengganguk seolah mengerti dan tersenyum bodoh, beruntung ada Ratna yang bisa menerjemahkan itu semua hahaha..


Musholla

Tujuan kami hanya satu yaitu Gunung api yang masih aktif dengan ketinggian 2.665 mdpl itu terletak di kecamatan Cisurupan kabupaten Garut, sekitar 70km sebelah tenggara kota BandungPerjalanan pun berlanjut, jam menunjukkan pukul 10:00, kami harus bergegas menuju Cisurupan menaiki angkutan umum membayar sebesar Rp10.000/org, dan memakan waktu 1 jam. Pemandangan yang jarang kami temui di Ibu Kota, suasana yang asri dan udara yang sejuk. Mata kami di manjakan oleh hamparan sawah yang menghijau dan langit yang membiru luas tanpa gedung-gedung yang bertengger. Setelah naik angkutan umum kami lanjutkan lagi perjalanan menuju Pos Pendakian yang lumayan jauh juga dengan menaiki mobil dengan kap terbuka di belakangnya. Kami cukup membayar Rp10.000/org. Jalan yang kurang bagus membuat kami merasa menaiki roller coster dengan guncangan yang dahsyat. Bertemu dengan anak-anak yang habis pulang sekolah yang saling melambai senang, bertegur sapa dan tersenyum. Jam menandakan sang raja siang mulai meninggi di atas kepala kami. Udara yang sejuk cukup mengurangi sorotan terik matahari di selingi dengan rujak jambu biji sambal terasi yang lumayan meneteskan air liur. Kami bahagia memulai perjalanan ini.


Angkot menuju Cisurupan

Pos Pendakian telah dekat, kami turun dari mobil. Mempersiapkan segalanya dengan hati-hati. Berdoa bersama agar sampai dan pulang dengan selamat tanpa berkurang apa pun. Hujan gerimis mulai membasahi kami setetes demi setetes, tapi itu tak menyurutkan kami untuk terus melangkah, menuju ciptaan terindah. Ini adalah langkah pertama untuk saya dalam hal mendaki. Keindahan yang tak hanya bisa di ucapkan kata perkata atau hanya decak kagum semata. Awal mendaki gerimis tetap turun perlahan, aroma belerang semakin menyengat kencang. Air yang turun makin memperkuat belerang yang menghampiri setiap hidung kami, napas kami tertahan, berusaha mengapai oksigen yang terasa semakin hilang di gantikan belerang. Asap mengepul, membumbung tinggi, batu-batu yang berwarna kuning kekuningan akibat terpapar asap atau tersiram air belerang. Kondisi ini lumayan membuat kami sulit menanjak, napas yang masuk hanya bisa untuk menghirup sedikit udara karena terhalangi masker yang kami pakai dan udara yang terus pekat oleh aroma belerang. Saya merasa, apa aku sanggup melewati ini? Perjalanan masih cukup jauh. Tapi ini adalah pembuktian diri, sampai mana kami melawan keegoisan yang kadang mengakar di hati. Ahkirnya sampailah kami di Hutan Mati. Subhanallah...Pemandangan yang sangat indah. Ranting-ranting pohon yang kebakar, semakin membuat suasana semakin mistis dan indah. Di sebrang sana, di bawah jurang saya melihat kawah belerang yang kami lewati, ternyata indah dan sedap di pandang mata. Tangan kami gatal untuk mengabadikan setiap keindahan dalam setiap kilatan foto. 






Kami memperkirakan perjalanan untuk sampai Tegal Alun itu membutuhkan waktu 4 jam, demi mengejar waktu agar tidak kemalaman mendirikan tenda disana kami terus berjalan, mendaki perlahan. Jalanan yang cukup licin oleh gerimis. Kami saling membantu, saling menolong disaat kesulitan untuk melangkah. Perjalanan semakin sulit ketika kami hampir menuju Tegal Alun karena mendaki, membentuk siku hampir 45 derajat. 


Tanjakan Mamang
Kami seperti merangkak untuk naik, menggapai akar-akar atau pohoh-pohon yang berada di sekeliling untuk menopang tubuh agar tidak jatuh terpeleset. Dan... Perjuang itu terbayarkan, lenyap seperti keringat yang mengering di bawah raincoat. Pemandangan yang di kategorikan melebihi indah, setiap sudut tergambarkan kecantikan yang sangat luar biasa. Meruak masuk ke retina mata, dan terekam di memori dengan baik. Bunga Edelwis tersebar di setiap tempat, mewangi dan tumbuh dengan suburnya. Kami berlari senang, melemparkan carrier bawaan begitu saja, seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Setelah menikmati keindahan itu kami lantas cepat-cepat mencari tempat strategis untuk mendirikan tenda karena kabut mulai menyelimuti tubuh kami dan angin pun berhembus kencang membawa butiran air di setiap terpaannnya. Perkiraan jam 6 kami selesai mendirikan tenda, lapar menghampiri setiap perut yang meminta untuk segera di isi. Bang Gopal mulai memasak, bahan di siapkan, memasak makanan yang paling cepat. Mie goreng plus sosis. Cukup mengenyangkan perut yang lapar dan dingin mengigil oleh udara. Hembusan napas terlihat seperti berada di negara-negara eropa sana saat musim salju datang, membentuk gumpalan asap. Malam pertama, berkemah dan dingin berada di ketinggian yang cukup mencengangkan.


Tegal Alun




Kabut yang masih menyelimuti

Tidur di tempat asing memang sangat tidak mengenakan di tambah angin kencang terus menerpa tenda kami, membuat suara yang cukup keras. Badan mengigil kedinginan. Saya yang terlahir di tempat panas, sangat merasa kedinginan di tempat itu, tapi saya sangat menyukai nya. Pagi hari kami semua bangun dan ingin melihat pemandangan yang akan di sajikan di atas Gunung Papandayan. Keluar dari tenda ternyata kabut masih tebal menyelimuti kami. Saya yang tak kuat dingin ini, ingin buang air kecil dan saya mendapatkan informasi ada mata air yang jaraknya tak begitu jauh dari tenda tempat kami berada. Saya meminta Mpok Aiseh untuk mengantarkan saya kesana dan ternyata benar, airnya sangat jernih dan bening. Kami mengisi botol minuman dengan mata air itu, karena bisa di gunakan untuk di minum langsung, sensasi nya sangat dingin ketika menembus kerongkongan seperti di ambil dari dalam kulkas. Air gunung murni yang jarang kami temui di daerah perkotaan. Air nya mengalir di antara rerumputan yang hijau. Berhubung saya sudah tak tahan, saya cepat-cepat mencari tempat tertutup diantara rimbunan edelwis untuk menyalurkan hasrat yang tak tertahan, yaitu buang air kecil. Kami menemukan sebuah tepat yang sangat nyaman, tempat tertutup rimbunan edelwis, yang masih di aliri mata air menyerupai sebuah kolam. Saya dan Mpok Aiseh tersenyum bahagia, kami saling menatap berasa menemukan tempat terindah. Dan tuntas lah segala persoalan yang tadi menghimpit di perut. Kami kembali ke tenda dengan senyum sumringah.


Teman-teman sudah berkumpul, memasak makanan untuk kami santap pagi ini. Menu nya sangat membuat selera makan kami meningkat drastis. Martabak mie sosis, sayur sop dan ikan asin cukup membuat air liur kami menetes karena kelaparan. Ada yang menggoreng, memasak nasi, memotong sayuran dan ada yang sibuk merekam atau mengabadikan kegiatan kami saat itu. Kami tertawa bersama, menertawakan hal-hal sepele yang semakin menambah keakraban kami di tengah hembusan angin dan kabut yang masih terasa mengigit setiap tulang. Selesai memasak kami makan bersama, sayur sop yang awalnya terasa panas hanya dalam waktu yang singkat langsung berubah dingin. Ketika matahari mulai beranjak tinggi, menghalau kabut dan menyibakkan kegelapan. Tegal Alun semakin indah dengan pemandangan yang terlihat jelas. Hutan yang meranggas hitam, tanpa dedaunan, bertengger rapi seperti padang rumput. Kami berkemas untuk turun ke Guther Hood, kami ingin mendirikan tenda dan menghabiskan sehari lagi di sana. Perjalanan cukup memakan waktu dua sampai tiga jam. Kami menuruni jalan yang sebelumnya menanjak naik. Karena gerimis terus   turun membuat jalan cukup licin untuk dilalui. Saya sampai terpeleset berkali-kali karena tidak mendapatkan tempat pijak yang cukup baik. Saya tidak terlalui menyukainya karena jalur menurun di tempat yang licin membutuhkan konsentrasi yang cukup banyak. Ahkirnya setelah melewati pondok seladah, tempat biasa para pendaki mendirikan tenda. Para pendaki yang hanya ingin menikmati berkemah tanpa harus mencapai puncak biasa nya mereka berkumpul di Pondok Seladah. Di sini sudah menjadi tempat favorit, selain jaraknya tidak terlalu jauh, di sini kalian bisa menemukan bunga edelwis walau tak sebanyak di Tegal Alun. Kami hanya melewatinya dan terus berjalan menuju tempat yang ingin di tuju. Ingin mendapatkan tempat berkemah yang masih jarang di datangi. 


Kami berjalan melewati hutan yang cukup rindang, terus berjalan. Ahkirnya kami sampai, di sebuah tempat yang cukup indah. Bernama Guther Hood. Tempat ini cukup strategis untuk mendapatkan satu paket keindahan yang luar biasa, karena kami bisa melihat kawah belerang, Gunung Cikurai, Gunung Guntur, dan kota Garut secara bersamaan. Bukankah itu sebuah paket lengkap untuk para penikmat keindahan??. Berhubung hujan terus menguyur, kami cepat-cepat mendirikan tenda agar bisa mengistirahatkan tubuh yang cukup lelah berjalan. Selesai mendirikan tenda, kami masak untuk mengisi perut yang menuntuk untuk di isi.  Matahari telah mengelincir jauh, meninggalkan langit yang gelap. Tubuh yang seharusnya lelah setelah berjalan cukup jauh, justru malah membuat kami bersemangat tertawa. Membuat lelucon, tertawa terpingkal-pingkal dan menciptakan ingatan yang tak akan mudah untuk dilupakan. Tema malam ini adalah mengenang masa kecil. Masa lalu yang tak akan kembali namun bisa berbagi dan di kenang. Jam sudah menunjukkan waktu 10 malam. Mpok Aiseh mengajak saya dan beberapa teman untuk melihat satu paket itu di kala malam. Subhanallah, sangat indah... Kami semua berdecak kagum, melihat kilauan lampu yang membentuk aliran kristal berkelap-kelip dari Kota Garut. Kota Garut hidup mermandikan cahaya yang gemerlap. Tak sampai di sana, kami melihat langit bersih dari segala polusi. Dengan mata telanjang kami bisa melihat bintang berhamburan di langit. Jutaan bintang membentuk sinar yang tak kalah cantik nya. Bang Adit bilang itu adalah Bima Sakti, entahlah saya tak tahu pasti tentang ilmu perbintangan tapi yang jelas kami tak akan lelah untuk mengabadikan keindahan itu dalam memori indah kami. Sanubari hati. Gunung Cikurai yang kelihatan gagah dengan segitiga lancipnya. di kelilingi asap kawah yang tak kenal lelah untuk menyemburkan asap belerang. Seharusnya tanpa lampu semua menjadi gelap tapi yang kami dapatkan adalah berjuta-juta sinar menerangi tempat kami berdiri kedinginan. Terang nan indah. Saya memilih sebuah bintang yang paling terang berwarna hijau, dan saya berharap suatu saat nanti saya akan bertemu lagi dengan bintang itu. Malam sudah larut, kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Selain cukup kedinginan, kami juga harus menjaga stamina agar besok bisa mempersiapkan diri untuk pulang. 



Kota Garut di malam hari


Kelip Bintang 
Matahari mulai menyeruak diantara awan-awan yang berarak. Kami bangun jam 4 pagi untuk melihat Sunrise, merasakan bermandikan sinar keemasan matahari yang baru muncul di pagi hari. Kami bersemangat menunggu sang Raja Siang menampakkan wajahnya. Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, sinar keemasan mulai menjalar, menghampiri kami. Kami bersorak gembira, tak lupa saling berfoto bersama. Entah sudah berapa puluh foto yang telah kami ambil di tempat ini tapi semua seperti tak akan habisnya. Segala keindahan yang di sajikan tak akan cukup hanya di abadikan dalam puluhan bahkan jutaan lembar foto. Tanpa sebab yang pasti tiba-tiba kami ingin membuat sebuah video yang tak akan pernah kami lupakan. Video yang sedang trend saat ini, Harlem Shake. Video yang di buat di bawah sinar keemasan. Sunrise. Hal-hal gila untuk membuat kebahagiaan. 












Sebenarnya, 3 hari tak akan cukup untuk kami bercengkrama dengan keindahan. Berdecak kagum, ternganga, dan takjub adalah hal biasa yang terjadi saat ciptaan Tuhan itu Maha Sempurna di perlihatkan. Bahkan saat musibah datang terkadang bisa menjadi sebuah goresan takdir yang indah. Yang mungkin baru kita sadari saat kita dapat menemukan jawabnya. Jagalah apa yang sudah disediakan oleh Maha Pencipta, karena terkadang dari sana kita bisa menemukan diri kita yang lainnya. Lingkungan yang asri dan terjaga kelestariannya bisa memberikan energi positif setelah lelah bergerumul dengan segala macam masalah. Jadi nikmati selama kita mensyukurinya...

Salam cinta Alam....^^,








Thanks to Green Shelter Crew~~ Karena kalian, aku tahu hidup untuk di nikmati.

0 komentar:

Posting Komentar

Yours Comment